Hari minggu kemarin aku berniat untuk membeli taplak meja di pasar Mester Jatinegara. Sebelum sampai pasar telah terjadi kemacetan luar biasa, ternyata jalanan sedang ditutup sementara karena akan dilakukan prosesi Cap Go Meh. Jalanan yang ditutup mulai dari dekat rumah bersalin Hermina lalu berputaran di depan Gereja Koinonia ke arah pasar Mester lalu berakhir di jalanan samping KFC Jatinegara. Secara penasaran karena aku belum pernah melihat prosesi arak-arakan Cap Go Meh sebelumnya, aku membatalkan niat membeli taplak dan memilih untuk bergabung dengan kerumunan massa yang memang sudah bersiap-siap dari sebelumnya.
Sebetulnya aku juga masih ada turunan etnis Tionghoa tapi aku termasuk "Lost Generation" yang mulai kehilangan akar jati diri akibat genocide kebudayaan yang terjadi pada jaman orde baru. Aku sudah tidak banyak tahu seputar ritual-ritual budaya warisan nenek moyang termasuk perayaan Cap Go Meh ini. Palingan aku cuma tahu sedikit-sedikit berdasarkan cerita dari oma-opaku saja. Kata mereka Cap Go Meh itu adalah penutup rangkaian perayaan imlek alias tahun baru Cina. Cap Go Meh jatuh pada bulan purnama pertama setelah tahun baru jadi kira-kira sekitar 2 minggu setelah imlek. Pada tahun ini sebetulnya Cap Go Meh sendiri jatuh pada hari kamis lalu namun mungkin dengan alasan kepraktisan maka warga Tionghoa di Jatinegara baru mengadakan ritual arak-arakan Cap Go Mehnya pada hari minggu.
Dulu omaku pernah becerita kalau pada arak-arakan Cap Go Meh sering ada pertunjukan yang agak-agak mirip debus seperti misalnya potong lidah, tapi rupanya pada arak-arakan di Jatinegara kemarin adegan yang tergolong "Parental Advesory" tersebut tidak ada. Yang namanya barongsai pasti ngga akan ketinggalan tapi sebetulnya yang menjadi khasnya Cap Go Meh adalah arak-arakan patung dewa-dewi atau biasa disebut "Gotong Toapekong". Karena seumur-umur baru kali ini aku nonton acara Cap Go Meh maka aku baru tahu kalau ada cara dan aturan khusus dalam melakukan ritual "Gotong Toapekong" tersebut. Toapekong dibawa oleh beberapa orang lalu dalam posisi diam di tempat, toapekong digoyang-goyang sambil dibacakan doa-doa lalu entah setelah berapa kali hitungan, ramai-ramai toapekong dibawa berlari hingg jarak tertentu lalu dimulai lagi ritual awal yaitu menggoyang Toapekong.
Setelah selama puluhan tahun sempat dilarang oleh pemerintah orde baru, sekarang ritual budaya semacam Cap Go Meh ini sudah dapat dilakukan kembali. Sempat terbesit keharuan ketika kemarin aku membaur dengan warga dari berbagai macam etnis beramai-ramai menonton prosesi arak-arakan Cap Go Meh tersebut. Menariknya, yang terlibat dalam prosesi arak-arakan Cap Go Meh ini tidak hanya kebudayaan yang berasal dari Tiongkok saja tapi ada juga budaya asli Indonesia yang terlibat seperti misalnya Ondel-Ondel, Reog Ponorogo, Tanjidor dan bahkan ada serombongan anak muda yang memainkan irama kasidah. Melihat kondisi ini, bisa dikatakan arak-arakan Cap Go Meh sebetulnya adalah sebuah festival budaya yang bisa dimasukan dalam kalender wisata seperti Mardi Gras di New Orleans. Lihat saja apa yang terjadi di Jatinegara kemarin dimana sebuah prosesi Cap Go Meh sederhana yang dikelola oleh kalangan sendiri dapat menarik atensi masyarakat sedemikian besar, apalagi kalau acara Cap Go Meh ini ditangani secara profesional tentu bukan mustahil bisa menarik perhatian turis asing untuk datang khusus menyaksikan pawai budaya tersebut. Berikut ini adalah beberapa foto yang berhasil aku abadikan dari kamera telepon selulerku.
Tarian Liong yang sudah sangat dikenal dibawakan oleh para seniman tari Liong yang umumnya justru bukan dari etnis Tionghoa
Alat tabuh yang dibunyikan mengiringi prosesi Cap Go Meh
Reog Ponorogo tak mau ketinggalan mengikuti arak-arakan bersama Barongsai, saudara tuanya dari negeri China
Budaya lokalpun ikut meramaikan kemeriahan pawai budaya ini, secara lokasinya di Jakarta maka ondel-ondelah yang muncul
Ini yang berpakaian ala Judge Bao siapa ya?? Aku juga ngga tau mungkin ceritanya dia itu Raja atau Kaisar gitu deh...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar