Kasian sekali anak sekolah jaman sekarang, sudah biaya sekolahnya tinggi ujiannyapun makin ribet. Bicara soal kualitis pelajaran eksakta dan bahasa, anak sekarang memang lebih canggih. Kecil-kecil sudah jago bahasa inggris dan hafal rumus-rumus fisika yang sulit. Tapi sayangnya anak sekarang seperti telah kehilangan jatidiri kebangsaannya karena kurang mendapatkan pelajaran yang nampak ngga penting tapi sebetulnya sangat penting seperti sejarah, etika dan moral.
Perasaan waktu jaman aku sekolah dulu pelaksanaan ujian nasional yang waktu itu masih bernama Ebtanas biasa aja tuh. Tapi sekarang, pelaksanaan UN heboh sekali hanya kalah sedikit dari kehebohan pemilu. Tidak cuma melibatkan pejabat-pejabat di depdiknas tapi sampai melibatkan kepolisian segala. Bahkan ada kasus di daerah Sumatera Utara yang sampai melibatkan densus 88 alias pasukan khusus anti teror kepolisian, padahal kasusnya cuma masalah kecurangan UN dimana ada satu sekolah yang guru-gurunya sengaja mengkoreksi jawaban para murid agar bisa mendapatkan nilai minimal kelulusan. Tindakan curang dalam Ujian Nasional bolehlah dikategorikan sebagai tindakan penipuan tapi kayanya ngga perlu deh sampai melibatkan pasukan anti teror, pihak kepolisian saja cukup. Padahal diluar sana masih banyak kasus lain yang lebih cocok dikatakan sebagai tindakan teror seperti misalnya perusakan rumah ibadah, penculikan anak atau pertikaian antar kampung.
Memang sih ide pemerataan standar pendidikan nasional perlu diacungi jempol tapi sebetulnya intinya bukan di ujian kelulusannya tapi yang harus dibenahi dulu yaitu pemerataan sarama dan prasarana pendidikan. Rasa-rasanya kurang fair menyamakan kemampuan akademis anak-anak yang bersekolah di sekolah yang fasilitasnya lengkap mulai dari laboratorium hingga akses internet dengan anak-anak yang bersekolah di bangunan sekolah yang nyaris roboh dan kalau hujan terpaksa harus pulang karena kelasnya kebocoran. Kalau sarana dan prasarana sudah merata atau paling tidak telah memenuhi kelayakan minimal, bolehlah pelaksanaan ujian nasionalnya dilakukan sama rata di seluruh pelosok negeri.
Kalau sudah mau menghadapi ujian nasional yang stres bukan cuma anaknya saja, orangtuanya saja ikutan stres. Sistem birokrasi di tubuh departemen milik pemerintah masih kacau balau sehingga memungkinkan ada kesalah dalam memasukan data. Seperti pernah ada kasus seorang anak yang juara olimpiade sains tidak lulus UN. Padahal selama ini nilai akademisnya selalu diatas rata-rata dan bahkan dia sudah diterima disebuah universitas negeri bergengsi. Entahlah apa penyebab kegagalan anak tersebut dalam UN, ditenggarai adalah kesalahan dalam memasukan data nilai. Entahlah bagaimana nasib anak tersebut, yang pasti tentu saja dia bakal stress berat. Untungnya aku ngga jadi anak sekolah di jaman sekarang, bisa-bisa aku jadi anak stress juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar