Kamis, 01 Mei 2008

Mayday...mayday...outsourcing & offshoring

Membicarakan soal perdagangan manusia pikiran kita langsung berasosiasi dengan para pekerja seks komersil yang terpaksa menjalankan profesi tak terhormat itu karena terjebak atau anak-anak yang dijadikan pengemis oleh suatu sindikat tertentu. Namun ada jenis perdagangan manusia yang sama mirisnya tapi tidak terlalu kita sadari yaitu perbudakan model baru yang disebut dengan outsourcing dan offshoring. Seperti yang kita tahu, outsourcing adalah suatu sistem pemindahan tanggung jawab non core business unit dari perusahaan inti ke perusahaan lain di luar perusahaan inti tersebut. Sehingga tenaga kerja itu terikat kontrak kerja kepada perusahaan lain. Sementara offshoring adalah memindahkan proses produksi suatu perusahaan dari suatu negara ke Negara. Biasanya tujuan offshoring adalah negara dunia ketiga dimana upah buruh masih rendah.


Kedua cara tersebut diatas belakangan ini gencar dilakukan oleh berbagai korporasi besar untuk meningkatkan profit dengan menekan labour cost. Celakanya offshoring ini sering digabungkan dengan outsourcing seperti yang serng terjadi di Indonesia ini. Ada sebuah perusahaan sepatu olahraga terkemuka yang pembuatan sepatunya di lakukan secara offshoring di Indonesia dengan menunjuk sebuah perusahaan lokal untuk pelaksanaannya. Perusahaan Indonesia yang ditunjuk tersebut ternyata juga melakukan system outsourcing dalam perekrutan tenaga kerja. Sungguh sangat tragis nasib para pekerjanya, sudah menjadi pekerja offshoring status merekapun outsourcing pula. Ironisnya sepasang sepatu yang telah diberi merk tersebut dijual di Indonesia dengan harga yang sangat mahal. Bahkan harga sepasang sepatu merk terkenal tersebut lebih mahal daripada gaji sebulan buruhnya.


Buruh memang menjadi pihak yang dirugikan, perusahaan lokalpun tak terlalu untung juga, yang paling untung tentu saja si perusahaan sepatu kapitalis tersebut. Kira-kira setahun yang lalu, si perusahaan sepatu top tersebut menghentikan ordernya dari perusahaan rekanan lokal karena menganggap biaya operasional produksi di Indonesia terlalu tinggi. Namun sebetulnya bisa ditebak maksudnya biaya operasional yang tinggi adalah biaya upah yang tinggi juga sehingga si perusahaan sepatu top tersebut hengkang dari Indonesia dan mencari negara miskin lainnya yang tenaga kerjanya bisa dibayar lebih murah. Perusahaan sepatu lokal tersebut langsung kolaps dan terpaksa harus menghentikan produksinya karena tak ada lagi pesanan sepatu. Korban yang paling merugi tentu saja adalah ribuan buruhnya yang tiba-tiba menjadi pengangguran tanpa pesangon lantaran status mereka sebagai buruh outsourcing.


UMR di daerah Jakarta dan sekitarnya dianggap tinggi oleh para pelaku bisnis neoliberisme sehingga banyak yang dipindahkan ke daerah yang upah buruhnya masih murah. Pembangunan kawasan industri baru di daerah membuat areal pertanian dan perkebunan beralih fungsi. Begitu juga kultur masyarakatnya yang tadinya bertani kini banyak yang beralih jadi buruh karena stigma yang menganggap status sosial buruh lebih tinggi daripada kaum tani.

Tidak ada komentar: