Semuanya diawali di hari selasa 2 minggu lalu persis sehari setelah aku nge-blog tentang acara masak-memasaknya si Stephen Yan. Di hari selasa itu perutku sudah mulai agak kurang enak rasanya seperti masuk angin, kebetulan kerjaan juga lagi banyak jadinya makin hot aja si lambung ini memproduksi asam alhasil malamnya aku dengan sukses berhasil mengeluarkan makananku dari dalam perut. Keesokan harinya aku memtuskan untuk memakan obat mag tapi hasilnya masih tetap saja aku mual-mual. Hari kamis aku berkonsltasi dengan dr. Yunus sang dokter kantor, akupun diberi resep obat maag yang konon lebih canggih daripada obat warung yang aku makan selama ini plus dikasih istirahat setengah hari. Ternyata obat canggih ini ngga manjur juga, aku tetap muntah-muntah malah makin parah sebab jangankan makan, air putihpun sudah susah masuknya. Di Hari Jumat sore aku memeriksakan diri ke dokter internis di sebuah rumah sakit swasta di kp. Melayu. Secara sudah 2 hari tidak ada makanan yang masuk karena ditolak lambung terus, dokter menyarankan untuk dirawat inap supaya bisa diinfus. Begitu mendengar vonis rawat inap, langsunglah terbayang hal-hal spooky seputar rumah sakit. Kata orang check in di hotel bernama hospital ini sangat jauh dari kesan hospitality.
Tapi sadar kondisi yang sudah melemah, akhirnya aku setuju-setuju saja untuk menginap di rs, lagipula kalau pulang ke kost pastinya akan repot memikirkan makannya. Begitu masuk ruangan rawat inap, kesan spooky itu mulai menguap sebab ruangannya tidak seseram yang aku bayangkan. Para staf rumah sakitnyapun ternyata lumayan memiliki jiwa hospitality, paling tidak mereka cukup ramah dan sigap pada saat diperlukan bantuannya.
Pengalaman pertama masuk rumah sakit ini bikin aku sedikit norak, aku juga baru tau kalau ternyata makannya pun kita bisa memilih menu yang diinginkan, bahkan pihak rumah sakitpun menyiapkan handuk bersih untuk keperluan pasien. Sama seperti di hotel, di rspun ada cleaning service yang akan membersihkan kamar dan mengganti sprai setiap pagi. Memang benar-benar mirip hotel hanya kurang sendal dan ranjangnya yang bukan spring bed. Tapi seenak-enaknya rumah sakit masih tetep lebih enak check in di hotel... Apalagi selama tinggal di rumah sakit, tanganku ini selalu digantungi infus jadinya agak sulit untuk bermanuver. Untungnya aku ngga perlu lama-lama menginap di RS cukup 2 malam saja, masuk Jumat malam dan hari minggu siang sudah diijinkan keluar. Itulah pengalaman baruku dalam menghabiskan akhir pekan, semoga aku tidak perlu check in di rumah sakit lagi, kecuali tentunya pada saat melahirkan nanti.
Aku ngga tau apakah setiap rumah sakit seperti ini? Karena kebetulan rumah sakit yang aku inapi tempo hari itu adalah sebuah rumah sakit swasta yang memiliki embel-embel international di namanya. Menurut seorang temanku, apabila check in nya di rumah sakit milik pemerintah apalagi yang termasuk kategori RSUD yang namanya hospitality itu akan sulit didapat. Jadi teringat berita di TV tentang para korban DB yang dirawat di RSUD, sudah dapat tempat tidur di bangsal pun sudah lumayan karena tak jarang para korban yang sebagian besar anak-anak itu harus dirawat di lorong rumah sakit dengan fasillitas yang sangat minim. Gambaran inilah yang sebetulnya melekat erat dibenakku tentang rumah sakit sehingga sebelum mengalaminya sendiri aku jadi parno terhadap rumah sakit. Kenapa ya pelayanan RSUD bisa sangat njomplang dengan pelayanan RS Swasta? harus diakui jawabannya adalah ujung-ujungnya duit, tapi paling ngga ada hal lain yang ngga perlu duit yaitu keramahan alias hospitality... Temanku menjawab kalau gaji staf RSUD jauh dibawah gaji staf RS Swasta jadinya lagi-lagi ujungnya duit...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar