Sang Pemimpi adalah buku kedua dari tetralogi karya Andrea Hirata, tapi bagi diriku ini merupakan buku pertama karyanya yang aku baca. Aku sebetulnya ingin membaca tetralogi tersebut secara berurut dari awal namun aku gagal mendapatkan buku seri pertamanya Laskar Pelangi jadinya aku memulai dari seri keduanya saja. Kekuatiran akan mengalami kusulitan dalam mengikuti jalan ceritanya ternyata tidak terbukti sebab aku tetap bisa mengikuti cerita Sang Pemimpi ini dengan baik tanpa harus mengetahui cerita dari bukunya yang terdahulu.
Sang Pemimpi ini menceritakan tentang petualangan masa remaja pemuda bernama Ikal, sudah dapat ditebak kalau tokoh Ikal ini merupakan cerminan dari sang pengarang oleh karenanya buku ini boleh disebut sebagai memoar sang pengarang, Andrea Hirata. Arai merupakan seorang anak kampung yang miskin namun memiliki semangat yang tinggi untuk mengecap pendidikan. Berhubung di kampungnya belum ada sekolah SMA maka terpaksa Ikal harus merantau ke kota terdekat yang memiliki SMA. Bersama dengan sepupu jauhnya yang sangat kreatif dan kelakuannya sukar ditebak, Arai dan juga temannya yang sangat terobsesi dengan kuda Jimbron merantaulah mereka ke Magai sebuah kota pelabuhan kecil.Mereka disana menyewa sebuah los kecil untuk tempat tinggal dan untuk membiayai sekolah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka bekerja sebagai kuli ngambat.
Mimpi mereka untuk mengecap pendidikan tinggi menjadi semakin berkobar-kobar setelah seorang guru mereka yang sangat berkharisma “menantang” mereka untuk dapat menaklukan Eropa dan Afrika. Sang guru ingin sekali ada diantara muridnya tersebut yang bisa meneruskan sekolah di Universite de Paris – Sorbonne karena menurutnya disanalah para seniman dan pemikir besar dunia pernah besekolah. Memang bagai pungguk merindukan bulan bagi para anak-anak miskin di daerah terpencil untuk dapat meneruskan sekolah hingga ke Paris. Tapi begitulah kekuatan mimpi, mimpilah yang dapat membuat mereka bertahan untuk terus bersekolah walaupun harus berhadapan dengan kerasnya kehidupan .
Ikal memang yang menjadi tokoh utama buku ini tapi menurut aku tokoh Arailah sebetulnya nyawa kisah Sang Pemimpi ini. Sebab Arai yang kreatif ini adalah seorang pemimpi sejati yang tak pernah berhenti mimpi. Bahkan dikala tokoh Ikal frustasi dengan mimpi-mimpinya, Arai tetap setia untuk menyemangati Ikal untuk tidak pernah berhenti menggapainya. Tokoh Jimbron pun bukan hanya sekedar pelengkap saja, walaupun tidak sepandai Ikal dan Arai, Jimbron yang gagap tetap bermimpi untuk dapat terus bersekolah. Tokoh Jimbron pula lah yang mengingatkan pembaca bahwa tak selamanya kita perlu mengejar mimpi-mimpi di awing-awang sana, terkadang impian sederhana juga sangat perlu untuk dapat mewarnai hidup ini menjadi lebih indah. Seperti ketika Jimbron melihat seorang gadis yang selalu bersedih hati, ia ingin sekali melihat gadis tersebut tersenyum sekali saja maka segala upaya dia lakukan agar bisa membuat sang gadis tersenyum.
Selain membahas seputar kekuatan mimpi, buku ini juga memotret mengenai kekuatan cinta dan persahabatan. Dan untuk membuat pembaca tidak bosan, tidak lupa Andrea menambahkan humor-humor segar seputar kelakuan dan kenakalan masa remaja. Ceritanya sangat membumi dan enak dinikmati, sama sekali tidak ada beban yang mengganggu pikiran. Kata demi kata terjalin dengan indahnya, istilah-istilah canggih tingkat tinggi dapat disandingkan secara harmonis dengan istilah-istilah local yang sangat kampungan. Memang benar kata para komentator buku ini kalau Andrea adalah seorang seniman kata-kata.
Sang Pemimpi ini menceritakan tentang petualangan masa remaja pemuda bernama Ikal, sudah dapat ditebak kalau tokoh Ikal ini merupakan cerminan dari sang pengarang oleh karenanya buku ini boleh disebut sebagai memoar sang pengarang, Andrea Hirata. Arai merupakan seorang anak kampung yang miskin namun memiliki semangat yang tinggi untuk mengecap pendidikan. Berhubung di kampungnya belum ada sekolah SMA maka terpaksa Ikal harus merantau ke kota terdekat yang memiliki SMA. Bersama dengan sepupu jauhnya yang sangat kreatif dan kelakuannya sukar ditebak, Arai dan juga temannya yang sangat terobsesi dengan kuda Jimbron merantaulah mereka ke Magai sebuah kota pelabuhan kecil.Mereka disana menyewa sebuah los kecil untuk tempat tinggal dan untuk membiayai sekolah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka bekerja sebagai kuli ngambat.
Mimpi mereka untuk mengecap pendidikan tinggi menjadi semakin berkobar-kobar setelah seorang guru mereka yang sangat berkharisma “menantang” mereka untuk dapat menaklukan Eropa dan Afrika. Sang guru ingin sekali ada diantara muridnya tersebut yang bisa meneruskan sekolah di Universite de Paris – Sorbonne karena menurutnya disanalah para seniman dan pemikir besar dunia pernah besekolah. Memang bagai pungguk merindukan bulan bagi para anak-anak miskin di daerah terpencil untuk dapat meneruskan sekolah hingga ke Paris. Tapi begitulah kekuatan mimpi, mimpilah yang dapat membuat mereka bertahan untuk terus bersekolah walaupun harus berhadapan dengan kerasnya kehidupan .
Ikal memang yang menjadi tokoh utama buku ini tapi menurut aku tokoh Arailah sebetulnya nyawa kisah Sang Pemimpi ini. Sebab Arai yang kreatif ini adalah seorang pemimpi sejati yang tak pernah berhenti mimpi. Bahkan dikala tokoh Ikal frustasi dengan mimpi-mimpinya, Arai tetap setia untuk menyemangati Ikal untuk tidak pernah berhenti menggapainya. Tokoh Jimbron pun bukan hanya sekedar pelengkap saja, walaupun tidak sepandai Ikal dan Arai, Jimbron yang gagap tetap bermimpi untuk dapat terus bersekolah. Tokoh Jimbron pula lah yang mengingatkan pembaca bahwa tak selamanya kita perlu mengejar mimpi-mimpi di awing-awang sana, terkadang impian sederhana juga sangat perlu untuk dapat mewarnai hidup ini menjadi lebih indah. Seperti ketika Jimbron melihat seorang gadis yang selalu bersedih hati, ia ingin sekali melihat gadis tersebut tersenyum sekali saja maka segala upaya dia lakukan agar bisa membuat sang gadis tersenyum.
Selain membahas seputar kekuatan mimpi, buku ini juga memotret mengenai kekuatan cinta dan persahabatan. Dan untuk membuat pembaca tidak bosan, tidak lupa Andrea menambahkan humor-humor segar seputar kelakuan dan kenakalan masa remaja. Ceritanya sangat membumi dan enak dinikmati, sama sekali tidak ada beban yang mengganggu pikiran. Kata demi kata terjalin dengan indahnya, istilah-istilah canggih tingkat tinggi dapat disandingkan secara harmonis dengan istilah-istilah local yang sangat kampungan. Memang benar kata para komentator buku ini kalau Andrea adalah seorang seniman kata-kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar