Walaupun cukup sering mampir ke kompleks Megaria tapi aku belum pernah sebelumnya menjajal nonton di bioskop yang katanya sekarang jadi salah satu cagar budaya. Biasanya aku paling cuma makan ayam bakar yang terletak didalam komplek Megaria tersebut. Ketika hendak menonton Bourne Ultimatum yang memang sudah diputar agak lama, kebetulan kami tidak menemukan jadwal yang pas kecuali di Megaria akhirnya kita terpaksalah memilih menonton petualangan Jason Bourne tersebut di Megaria. Karena memang ini film sudah agak lama maka diputarnyapun sudah di studio 6.
Terbiasa menonton di bioskop modern, aku agak-agak kaget juga dengan kondisi Megaria. Pertama kalinya ketika membeli karcis, tidak seperti bioskop modern yang telah menggunakan sistem komputerisasi, di Megaria karcisnya masih karcis manual yang tempat duduknya ditulis tangan, orisinil sekali... Masih ada juga bisokop milik jaringan 21 di Jakarta ini yang masih mengunakan sistem manual. Di Megaria studio 5 dan 6 terletak terpisah dari bangunan utama, saya tidak tahu kondisi fisik studio di gedung utama tapi kondisi studio 5 dan 6 cukup memprihatinkan. Sebelum masuk aku lihat pintu masuk studionya sangat tidak meyakinkan, lebih mirip pintu gudang atau ruang janitor daripada pintu masuk ke sebuah studio film. Secara keseluruhan sudah cukup memberikan kesan spooky dan untungnya aku ngga ada rasa pingin pipis jadi aku ngga perlu pergi ke toiletnya yang aku ragukan akan lebih baik daripada kondisi studio filmnya.
Tibalah saatnya untuk masuk ke studio, dalam perjalanan masuk aku cukup deg-degan karena takut menemukan kondisi kursi yang bolong-bolong atau berkutu busuk. Ternyata secara fisik tempat duduknya masih lumayan enaklah hanya saja jarak ketinggian antara kursi depan dan belakanganya kurang tinggi jadi kalau kebetulan duduk dibelakang orang yang tinggi dan berkepala besar selamat dech anda akan mendapatkan gangguan besar. Dan ukuran studio 6 yang aku masukan kecil sekali, aku juga sempat meragukan ukuran layarnya karena sewaktu diputar ekstra film ukuran layarnya kecil. Tapi ternyata ketika film mulai diputar, ukuran layarnya sudah lumayan membesar. Biasanya di bioskop-bioskop modern, paling ngga soundnya sudah dolby stereo bahkan di beberapa bioskop yang agak mahal sudah pakai THX. Disini juga jangan salah, soundnya juga stereo tapi bukan sound filmnya yang stereo melainkan sound dari generatornya he... he... Pada awalnya emang terasa ganggu banget suara generator tersebut tapi lama-lama akan terbiasa juga kok... Berhubung memang filmnya seru banget jadinya aku cukup dapat bertahan untuk tidak keluar sampai film selesai padahal awalnya agak pusing akibat mendengar suara generator dan leher pegal akibat posisi kepala yang miring untuk mendapatkan view yang jelas tanpa bonus kepala orang.
Memang sih tiket masuknya murah banget cuma sepuluh rebu doang tapi rasanya ngga terlalu worthed mengingat penderitaan yang tidak akan dialami jika menonton di Hollywood KC yang tiketnya cuma lebih mahal 5 ribu saja. Tapi anehnya bioskop Megaria ini masih cukup banyak peminatnya, padahalkan tinggal jalan sedikit lagi bisa aja ke Djakarta Theater yang tiketnya juga ngga terlalu mahal, hanya 15 ribu rupiah. Kalau malam minggu memang cukup banyak ditemukan pasangan yang telah cukup berumur nonton disini, kalau yang ini bisa dimaklumi karena faktor nostalgia.
Menurutku seharusnya pengelola bioskop mau sedikit merenovasinya agak sedikit lebih modern paling ngga diperbaiki yang menyangkut masalah kenyamanan penonton. Memang sih bisokop ini ngga boleh dipugar oleh pemda DKI lantaran dianggap sebagai cagar budaya tapi kan ngga perlu merobohkan total, ya palingan yang dirubah interiornya saja agar penonton bisa merasa lebih nyaman nonton disini. Apabila dibiarkan kondisinya seperti sekarang ini niscaya cagar budaya ini malah akan ditinggalkan atau bahkan dilupakan sama sekali. Bakalan keren banget apabila Megaria ini di perbaiki, nonton bioskop di gedung bersejarah tapi dalamnya tetap berteknologi canggih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar