Sabtu, 08 Desember 2007

The Inheritance of Loss - KIran Desai

Alkisah seorang pensiunan hakim lulusan sekolah hukum di Inggris bernama Jemubhai memilih untuk tinggal disebuah desa bernama Kalimpong (namanya seperti kampung) yang terletak di kaki pegunungan Himalaya. Pada awalnya Jemubhai atau biasa dipanggil Jemu hanya tinggal bersama seorang juru masak yang tidak disebutkan namanya dan seekor anjing betina yang diberi nama Mutt (kependekan dari Mutton Chop). Jemu yang dulunya merupakan seorang hakim yang sangat dihormati setelah pensiun mengalami Post Power Syndrome dan kegiatan sehari-harinya hanyalah mengutak-ngatik permainan catur. Jemu yang pernah menjalankan pendidikan di Inggris begitu bangga pada adat istiadat negara tersebut sehingga ketika berbicarapun dia selalu menggunakan aksen Inggris yang kental. Hingga suatu saat datanglah seorang biarawati Inggris yang membawa seorang anak remaja berusia 16 tahun yang bernama Sai. Sai sebetulnya adalah cucu Jemu yang terpaksa jadi yatim piatu karena kedua orangtuanya mengalami kecelakaan. Kedatangan Sai menjadi anugrah bagi Jemu karena kini Jemu punya seseorang yang bisa dia curahkan perhatiannya apalagi Sai juga sebelumnya pernah tinggal di eropa sehingga sang kakek merasa punya teman yang sepandangan.


Jemu tidak mensekolahkan Sai di sekolah umum biasa tapi memilih untuk mendatangkan seorang tutor untuk mengajarkan aneka pelajaran kepada Sai. Sang tutor tersebut bernama Lola seorang janda dari seseorang yang juga terpandang seperti Jemu. Lola ini tinggal bersama saudaranya Noni disebuah rumah mewah yang diberi nama Mon Ami. Walaupun menguasai berbagai ilmu namun Lola lemah dalam bidang matematika sehingga Jemu harus mendatangkan seorang tutoe matematika bagi Sai. Sang tutor ini bernama Gyan seorang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi ternama. Sai rupanya menaruh hati pada Gyan namun Jemu berusaha menghalangi karena kelas sosial mereka berbeda, Gyan selain berasal dari keluarga tak mampu juga seorang India keturunan Nepal yang sering diperlakukan sebagai kaum minoritas. Pada awalnya Gyan masih sabar menghadapi sikap otoriter Jemu namun lama-lama Gyan tidak tahan juga apalagi ditambah dengan kelakukan Sai yang sangat kebarat-baratan membuatnya berubah jadi orang yang sinis. Tidak cuma itu saja, Gyan juga mulai ikut-ikutan kelompok pemberontak kaum minoritas Nepal.




Sementara di sisi dunia lain yaitu di New York hiduplah seorang imigran gelap asal India yang bernama Biju. Biju adalah putra tunggal dari juru masak yang bekerja di rumah Jemu. Karena ingin memperbaiki taraf hidupnya, Biju nekat berimigrasi secara gelap ke Amerika. Dalam bayangannya tinggal di Amerika akan membawa kesuksesan dan kemakmuran, Biju menghayalkan bisa punya sofa, TV dan tabungan yang banyak di bank. Namun sebagai imigran gelap terpaksa Biju bekerja berpindah-pindah dengan upah yang kecil karena harus main kucing-kucing dengan pihak imigrasi. Walaupun telah tinggal jauh di Amerika sana, Biju masih mentempatkan diri untuk mengirim surat kepada ayahnya dan menceritakan hanya hal-hal yang baiknya saja. Sang ayah sendiri di India begitu menyanjung-nyanjung putranya tersebut dan menganggap bahwa anaknya telah jadi orang sukses di Amerika sana karena putranya tidak pernah mengeluhkan apapun.




Kehidupan di desa Kalimpong yang semula damai dan sejahtera tiba-tiba berubah drastis setelah pecah pemberontakan dari kaum minoritas India-Nepal. Kekerasan terjadi dimana-mana, orang miskin menjadi makin banyak, tingkat kriminalitas menjadi tinggi dan barang-barang kebutuhan pokok menjadi langka. Jemu yang selama ini bergaya hidup baratpun terpaksa harus mengkonsumsi makanan lokal India. Lola dan Noni pun terpaksa harus merelakan halaman rumah mereka yang indah dipakai sebagai tempat tinggal kaum pemberontak. Sai yang terlanjur jatuh cinta pada Gyan harus menelan kepedihan akibat diputuskan cinta oleh sang kekasih yang memilih bergabung dalam pemberontakan. Justru pada saat terjadi keacauan itu, Biju memutuskan untuk pulang mudik dengan membawa sedikit uang hasil bekerja di Amerika. Kekacauan ini memang mengubah hidup para tokoh di dalamnya menjadi manusia baru.




The Inheritance of Loss merupakan karya kedua dari pengarang muda India Kiran Desai (Putri dari pengarang legendaris Anita Desai), buku ini juga mendapatkan penghargaan Booker Prize pada tahun 2006. Seperti umumnya karya sastra pemenang penghargaan, memang perlu konsentrasi tinggi untuk dapat menyimak kisahnya karena jalan ceritanya yang tidak konvensional. Dalam The Inheritance of Loss digambarkan bagaimana globalisasi dan kapitalisme telah membuat sejumlah gegar budaya dari masyarakat tradisional yang akhirya membuat mereka menjadi "pengkhianat" atas budaya mereka sendiri. Kiran Desai juga berusaha menampilkan politik-politik kotor kaum mayoritas terhadap kaum minoritas yang terjadi di India sana. Tidak cuma menceritakan berbagai kekacauan akibat globalisasi , kapitalisme dan kolonialisme saja namun juga masih ada cerita cinta dari sepasang anak muda, cinta seorang kakek terhadap cucunya, gejolak batin sepasang saudara yang mulai memasuki usia lanjut serta kebanggan seorang ayah terhadap anaknya.




Sebagai orang Indonesia, membaca The Inheritance of Loss sepertinya sangat familiar dan terasa bukan kisah dari negeri asing. Mungkin karena kultur budaya dan tingkat ekonomi India yang mirip dengan Indonesia. Apa yang terjadi di desa Kalimpong bisa saja terjadi diberbagai daerah di Indonesia ini. Tokoh-tokoh yang berkarakter seperti Jemu, Sai, Gyan, Lola, Noni, juru masak dan putranya Beji bisa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan akibat globaslisasi dan kapitalisme bisa kita lihat efeknya pada masyarakat kita contohnya saja makin menjamurnya hypermarket asing dan makin terdesaknya pasar tradisional. Juga mengenai kolonialisme terselubung dari kaum mayoritas terhadap minoritas memang juga terjadi di Indonesia, buktinya masih ada aja kelompok separatisme.

Tidak ada komentar: