Kamis, 20 Maret 2008

Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer

"Bumi Manusia" adalah bagian pertama dari tetralogi Pulau Buru karya masterpiece Pramoedya Ananta Toer. Berkat diskon 30% dari toko buku Gramedia Mal Cijantung akhirnya aku sanggup membeli seluruh tetralogi ini tanpa rasa bersalah. Harga buku Pak Pram yang diatas rata-rata harga buku nasional lainnya memang sangat pantas mengingat karya-karyanya yang sangat bermutu. Apabila anda buka situs amazon.com , jangan heran kalau review yang diberikan pembaca atas karya-karya Pak Pram mendapatkan lebih dari 4 bintang.

"Bumi Manusia" sebagai bagian pertama dari tetralogi Pulau Buru menguak latar belakang dari keseluruhan cerita dalam tetralogi tersebut. Minke sebagai tokoh utama diceritakan masih menjadi siswa HBS di Surabaya. Sebuah prestasi hebat bagi seorang pribumi asli dapat bersekolah di HBS yang notabene biasanya hanya diperuntukan bagi anak-anak totok (Belanda tulen), Indo atau keturunan asing lainnya. Minke (sebetulnya bukan nama asli tokoh kita ini) adalah seorang keturunan priyayi Jawa yang berusaha menanggalkan kejawaannya dan ingin berpikir serta bertindak ala Eropa, namun walaupun begitu sesungguhnya Minke sangat menentang kolonialisme. Di Surabaya Minke tinggal di rumah kontrakan milik seorang Mevrouw yang baik hati yang bersuamikan seorang mantan komandan tentara kolonial. Untuk mendapatkan uang saku, Minke juga melakukan bisnis kecil-kecilan dengan memasarkan karya-karya hasil seniman invalid yang berdarah Perancis bernama Jean Marais. Jean Marais bukan hanya sekedar rekan bisnis tapi juga seorang sahabat sejati Minke. Selain itu Minke yang cerdas juga sering membuat tulisan di koran lokal berbahasa Belanda dengan menggunakan nama samaran.


Kehidupan Minke yang semula berjalan lancar-lancar saja tiba-tiba menjadi luar biasa setelah seorang teman sekolah mengajaknya bertandang ke Boerderij Buitenzorg. Disana ia bertemu dengan 2 orang wanita luar biasa yang akan mengubah jalan hidup Minke untuk selamanya. Kedatangan Minke langsung disambut dengan hangat oleh seorang gadis Indo bernama Annelies Mellema yang langsung membuatnya jatuh hati. Tidak cuma itu, sang penguasa Boerderij Buitenzorg, nyai Ontosoroh juga langsung membuat Minke seperti terhipnotis untuk mau-mau saja mengikuti kehendak sang nyai. Nyai Ontosoroh ini sebetulnya hanyalah seorang gundik dari Heman Mellema seorang belanda pejabat di perkebunan tebu. Selain Annelies masih ada juga seorang lagi anak nyai Ontosoroh yaitu Robert Melemma yang nampak begitu membenci ibunya dan juga segala sesuatu yang berhubungan dengan pribumi. Selanjutnya Minke menjalin kasih dengan Annelies si anak Indo yang justru ingin menjadi seorang Jawa. Nyai Ontosoroh ternyata sangat cerdas dan berwibawa tinggi sehingga sering kali membuat Minke terkagum-kagum. Semakin sering Minke bergaul dengan Nyai Ontosoroh, semalin kental pula jiwa nasionalisme Minke. Minke dan Annelies akhirnya menikah juga tak lama setelah Minke dinyatakan lulus dari HBS.


Kehidupan di Boerderij Buitenzorg menjadi terusik tak lama setelah kematian tak wajar tuan Herman Melemma. Boerderij Buitenzorgpun terancam terampas dari genggaman Nyai Ontosoroh sebab sesungguhnya tuan Herman Melemma telah mempunyai seorang putra dari perkawinan sahnya dengan seorang wanita Belanda yang tentunya akan menjadi pewaris sah dari kekayaan Herman Melemma. Yang terancam terenggut bukan cuma Boerderij Buitenzorg tapi juga Annelies. Perkawinan Annelies dan Minke yang sebetulnya sudah sah secara agama tidak diakui oleh pengadilan putih kolonial sehingga Annelies yang dibawah umur harus dibawa ke Nederland untuk selanjutnya berada di pengawasan Maurits Melemma, putra sah tuan Herman Melemma. Dengan sekuat tenaga Nyai Ontosoroh dan Minke melawan kekuasaan kolonial tersebut. Bukan cuma mereka, semua kaum pribumi di Surabaya serta beberapa totok dan Indo yang anti kolonialisme berusaha membantu melawan ketidakadilan tersebut namun usaha keras mereka masih belum sanggup mengalahkan kekuasan kolonial yang memang tak adil bagi kaum pribumi. Pada bagian akhir buku dikisahkan Annelies yang dalam keadaan sakit terpaksa harus diberangkatkan ke Nederland seolah menjadi simbol keterbedayaan kaum pribumi atas kaum kolonial.


"Bumi Manusia" ini juga membuka mataku tentang sosok nyai-nyai yang selama ini aku pikir seorang wanita desa gatal yang demi harta rela jadi simpanan bule-bule penjajah. Berkat kisah masa lalu Nyai Ontosoroh aku baru menyadari kalau para nyai ini sesungguhnya adalah wanita-wanita tak berdaya korban kekejaman sistem kolonialisme. Nyai Ontosoroh yang bernama asli Sanikem adalah seorang putri pegawai rendahan di pabrik gula. Pada masa itu gadis yang telah mendapatkan menstruasi harus segera dinikahkan bahkan gadis berusia 15 tahun sudah dianggap sebagai pearawan tua (Betapa beruntungnya kita para wanita yang hidup di jaman modern). Ayah Sanikem sangat berambisi untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi rela melakukan apa saja termasuk menjual putrinya kepada sang bos. Ibu Sanikem berusaha keras mencegahnya namun tak berdaya juga pada akhirnya. Saat Sanikem keluar dari rumah untuk diserahkan kepada tuan Herman Melemma, bos ayahnya, ia berjanji dalam hati untuk tidak akan kembali kepada orang tuanya. Sanikem cukup beruntung ternyata tuan Mellema cukup baik hati dan mau mengajarkan berbagai pengetauan kepada Sanikem sehingga selanjutnya Sanikem menjadi penguasa Boerderij Buitenzorg dan mendapat julukan Nyai Ontosoroh. Walaupun begitu tetap aja status Nyai Ontosoroh lemah di depan hukum karena ia tidak pernah dinikahkan secara sah oleh tuan Herman Melemma.


Secara keseluruhan buku ini sangat bagus sekali. Meskipun kita dijejalkan oleh beberapa fakta sejarah namun rasanya sama sekali tidak mengganggu malah membuat cerita menjadi semakin indah. Memang wajar kalau Pak Pram pernah masuk nominee penerima nobel sastra sebab beliau sanggup mengemas sebuah cerita denga topik berat dikemas apik menjadi enak dibaca sehingga membuat pembaca penasaran ingin membuka lembar-demi lembar berikutnya.

Tidak ada komentar: