Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) disebut-sebut sebagai karya terbaik beliau. Namun sayang harga keempat buku tersebut cukup mahal nyaris menyaingi buku import. Tapi memang layak juga sih karya-karya Pak Pram dihargai tinggi sebab karya beliau memang berkualitas dunia. Isi novel-novel Pak Pram memang banyak memotret aspek kehidupan yang membentuk Indonesia seperti misalnya perjuangan revolusi tapi dibuat dengan gaya bahasa yang tidak membuat orang bosan. Seperti waktu aku membaca novel "Larasati", berkat narasinya yang sempurna aku langsung mendapat bayangan keadaan Indonesia pada sekitar tahun 1945-1950 yang secara de jure sudah merdeka namun tidak secara de facto. Pak Pram juga banyak memasukan fakta-fakta sejarah namun tidak membuat kesan seperti membaca buku sejarah yang membosankan. Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang sekarang ini mulai terlihat kurang nasionalis, sesungguhnya bisa dibangkitkan kembali melalui karya-karya Pak Pram ini. Mungkin bila melalui bacaan agak sulit bisa dilakukan dengan membuat film atau sinetron-sinetron berdasarkan karya-karya Pak Pram ini.
Beberapa waktu yang lalu sempat beredar kontroversi seputar pemberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto, saya rasa lebih pantas Pak Pram ini yang diberi gelar pahlawan nasional daripada Pak Harto. Untuk menjadi pahlawan memang tak lantas harus gugur di medan perang, ada cara lain untuk berjuang, salah satunya seperti cara yang dilakukan Pak Pram yaitu melalui tulisan-tulisan yang menggugah jiwa nasionalisme. Lagipula Pak Pram sudah berjasa mengharumkan nama Indonesia melalui karya-karya penulisan yang diakui dunia. Seburuk apapun perlakuan yang pernah diterima dari bangsanya, tetap saja Pak Pram tetap setia pada Indonesia terbukti dari keengganan pergi keluar negeri pada masa orde baru sebab beliau takut kalau tidak diperkenankan lagi masuk Indonesia. Baru setelah orde baru terguling beliau bersedia melakukan kunjungan ke Amerika Serikat untuk mempublikasi salah satu karyanya yang berjudul asli "Nyanyian Sunyi Seorang Bisu". Buku yang dalam versi bahasa Inggrisnya berjudul "The Mute's Soliloquy" ini adalah sebuah memoar dari kehidupan Pak Pram sendiri ketika menjadi tahanan di Pulau Buru.
Sosok pengarang muda Andrea Hirata mungkin bisa menjadi penerus pak Pram. Dari karyanya yang baru 3 buah, Andrea sudah bisa menunjukan bakat membuat karya-karya yang dapat menggugah jiwa pembacanya. Pak Pram yang lahir pada jaman kolonial banyak melahirkan karya-karya seputar perjuangan fisik sedangkan Andrea Hirata yang lahir di alam kemerdekaan karya-karyanya juga memotret perjuangan dalam bentuk yang lain yaitu perjuangan untuk menjadi bangsa yang maju.
1 komentar:
I used to read Pramoedya's short stories in Cerita dari Jakarta. It depicts the daily activities and problems of those who lived in the capital city of Indonesia.
Ulasan kamu tentang Pramoedya cukup bagus. charlesroring@telkom.net
Posting Komentar