Oprah Winfrey tahun lalu memilih buku berjudul "The Road" karya Cormac McCarthy sebagai salah satu buku yang masuk dalam daftar Book Clubnya. Tak lama setelah itu "The Road" mendapatkan penghargaan Pulitzer untuk karya fiksi terbaik. Beberapa minggu yang lalu MetroTV menyiarkan seri Oprah Winfrey yang menampilkan wawancara dengan Cormac McCarthy dan juga membahas ini novel "The Road" tersebut. Berkat provokasi Oprah yang luar biasa, akhirnya aku jadi penasaran ingin membaca "The Road" juga. Pada awalnya aku agak sangsi akan sanggup memyelesaikan bacaan tersebut karena biasanya buku-buku pemenang penghargaan sastra sering agak susah dimengerti oleh pembaca umum. Tapi perkiraan aku salah "The Road" ini lain sebab ternyata ceritanya sangat menarik sehingga membuat pembaca tak bisa berhenti untuk membuka halaman-halaman berikutnya.
"The Road" bercerita tentang perjalanan ayah-anak berlatar belakang pada suatu masa menjelang kiamat dimana peradaban manusia mulai punah. Memang sih tidak dijelaskan penyebabnya tapi digambarkan kalau hutan-hutan terbakar, pemukiman hancur sehingga meninggalkan debu dimana-mana, langit selalu nampak gelap dan bahkan saljupun berwarna kelabu. Manusia-manusia yang tersisa berusaha bertahan hidup dengan makan makanan yang tersisa dan berbagai tanaman yang masih bisa bertahan hidup sehingga tak heran banyak diantara mereka yang menjadi kanibal. Perjalanan mereka menuju selatan untuk mencapai pantai ditempuh dengan berjalan kaki. Mereka membawa kereta dorong yang berisi pakaian yang tersisa, selimut usang serta beberapa makanan kaleng yang berhasil mereka temukan di perjalanan.
Perjalanan ayah-anak menuju pantai yang dilakukan dalam dunia yang kelabu ini diselingi oleh potongan kenangan masa lalu sang ayah serta mimpi-mimpi sang anak. Setiap pagi sang ayah sering terbatuk-batuk hingga mengeluarkan darah, sadar kalau hidupnya tidak akan lama lagi, ia berusaha melindungi anaknya dan membagi berbagai kenangan untuk selalu diingat sang anak. Kemana-mana sang ayah selalu membawa pistol yang berisi 2 butir peluru, maksudnya untuk dipergunakan untuk bunuh diri. Sang ayah mengatakan lebih baik bunuh diri daripada tertangkap oleh orang-orang jahat. Tadinya isi pistol tersebut adalah 3 butir tapi sebuah peluru telah dipergunakan oleh sang ibu jauh sebelum cerita ini dimulai.
Perjalanan ini makin menguatkan ikatan diantara mereka, dikala si anak ketakutan, sang ayah selalu berusaha menguatkannya. Rasa sayang sang ayah hanya untuk putranya seorang, dikala dalam perjalanan mereka bertenu orang lain yang terlihat menderita, tak bergeming sedikitpun hati sang ayah untuk menolong orang-orang malang tersebut walaupun sang anak telah memohon untuk menolong mereka. Menurut sang ayah, setiap orang yang mereka tidak kenal adalah ancaman sehingga lebih baik menjauh saja. Namun pada suatu ketika sang ayah akhirnya luluh juga ketika sang anak meminta untuk menolong seorang kakek tua. Si anak begitu ngotot meyakinkan sang ayah kalau kakek tua yang ternyata bernama Ely tersebut adalah orang baik dan sanga ayah akhirnya mau membagi sedikit makanan mereka untuk sang kakek.
Akhirnya setelah melalui berbagai rintangan dan aneka peristiwa, mereka berhasil juga mencapai pantai yang menjadi tujuan perjalanan mereka. Disinilah sang ayah tidak sanggup lagi melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya sehingga ia meninggal dalam tidur dan meninggalkan sang anaka sendirian. Setelah hari ketiga kematian ayahnya, sang anak bertemu dengan sebuah keluarga yang terdiri atas ayah-ibu dan 2 orang anak. Kasihan melihat sang anak sebatang kara, mereka memutuskan untuk mengadopsi sang anak dan memperlakukannya seperti anak mereka sendiri.
"The Road" sebetulnya adalah sebuah novel kelabu yang kelabu namun karena ramuan kata-kata Cormac McCarthy yang apik sehingga tetap enak untuk diikuti. Pendeskripsian McCarthy yang ciamik membuat aku langsung seperti masuk ke dalam dunia kelabu tersebut. Aku sebagai pembaca berasa seperti bayangan yang mengikuti perjalan tokoh ayah-anak tersebut. Lembar demi lembar halaman ingin terus dibuka tanpa henti karena tak sabar rasanya ingin segera tiba di pantai seperti apa yang dirasakan kedua tokoh tersebut. Pantas saja kalau novel ini dapat penghargaan Pulitzer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar