Sabtu, 17 November 2007

168 Jam Dalam Sandera - Meutya Hafid

Setelah tsunami besar yang melanda bagian paling barat dari wilayah Indonesia di akhir Desember 2004 seolah-olah pemberitaan di media massa hanya berputar di seputar Tanah Rencong tersebut. Hal ini terus terjadi hingga bulan-bulan berikutnya hingga pada suatu saat di pertengahan bulan Februari tahun 2005 tersiar kabar kalau ada dua orang jurnalis Indonesia yang hilang di Irak. Jurnalis tersebut berasal dari stasiun MetroTV yang terdiri atas reporter Meutya Hafid dan juru kamera Budianto yang saat itu seang ditugaskan untuk meliput pemilu pertama di Irak pasca tergulingnya Saddam Husein. Perkembangan berikutnya sangat mengejutkan karena keduanya dinyatakan resmi menjadi korban penculikan setelah beredarnya rekaman video yang menggambarkan keduanya berada dalam todongan senjata dari pasukan Mujahidin yang mukanya tertutup. Media massa di Indonesia langsung gegar karena sebelumnya banyak korban penculikan di Irak yang tidak selamat. Untunglah Indonesia tidak terlibat dalam konflik di Irak ahkan Indonesia terrmasuk negara yang menentang agresi Amerika di Irak sehingga para penculik tidak menuntut apapun kecuali konfirmasi dari Presiden RI tentang status keduanya. Presiden segera tanggap bertindak dengan menjelaskan status keduanya dan menghibau untuk segera nelepas keduanya. Demi meluluhkan hati para penculikan imbauan tidak hanya disampaikan oleh Presiden saja tapi juga oleh keluarga kedua korban penculikan tersebut dan juga beberapa tokoh nasional. Setelah beberapa hari para penculik akhirnya memenuhi janji mereka dengan membebaskan kedua jurnalis tersebut. Akhirnya baik Meutya naupun Budianto bisa kembali ke pangkuan keluarganya masing-masing.


Setelah lebih dari dua tahun kejadian tersebut berlalu, akhirnya salah satu korban penculikan tesebut yaitu Meutya Hafid dengan berani membagi kisahnya kepada masyarakat melalui memoarnya. Saya bilang berani karena pastinya akan sangat berat bagi korban penculikan seperti Meutya untuk kembali mengungkitnya kejadian pahit tersebut apalagi sampai membukukannya. Di buku ini selain mencerikana kronologis kejadian, Meutya juga membagi beberapa hal-hal menarik di sekitar kejadian penculikan mereka itu yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Tanpa banyak basa basi Meutya langsung tancap gas dengan langsung menceritakan detik-detik awal penyergapan mereka oleh beberapa orang yang mukanya tertutup di sebuah pom bensin di daerah Ramadi Irak. Sebetulnya tugas jurnalistik mereka untuk meliput pemilu di Irak telah selesai namun bos mereka di Jakarta meminta mereka masuk kembali ke Irak untuk meliput festival AsySyura. Nah pada saat memasuki kembali wilayah Irak ini kejadian penculikan tersebut terjadi. Dari detik pertama kemunculan pasukan bersenjata tersebut keduanya sudah sadar kalau mereka akan menjadi korban penculikan dan mereka hanya bisa pasrah akan nasib mereka selanjutnya.

Sama sekali tidak pernah terbayangkan leh Meutya yang sering membacakan berita tentang penculikan kalau suatu saat nanti dia sendiri yang akan menjadi berita. Dalam keadaan mata tertutup keduanya dibawa ke sebuah gue kecil di tengah padang pasir. Beruntung penculik mereka termasuk kaum Mujahidin yang cukup terpelajar dan sangat santun sehingga mereka memperlakukan korban penculikan tersebut dengan baik. Memang sih ada salah satu anggota penculik yang sepertinya berniat melecehkan Meutya namun berkat kegalakan Meutya si Sontoloyo tersebut tidak sampai berbuat terlalu jauh. Suasana kaku an tegang menjadi mencair saat penculik dan korban saling berinterasim rupanya sang penculipun masih memiliki sifat manuasiawi juga. Walaupun begitu Meutya melewati hari-hari yang sepi dan tak jarang menegangkan, disini pula kita diajak untuk mengetahui latar belakang Meutya melalui flash back. Meutya yang nyaris frustasi dengan janji-janji palsu sang penculik sempat ngambek namun akhirnya mereka di bebaskan juga. Rupanya proses pembebasan cenderung lebih menegangkan daripada proses penculikannya sendiri bahkan ketika sampai perbatasanpun ketegangan masih terjadi.

Sebagai seorang jurnalis, dalam buku memoarnya ini Meutya menanggalkan gaya menulis reporter berita. Disini Meutya menulis dari sisi seorang anak manusia biasa yang mempunyai emosi dan semuanya dibahasakan dengan “aku”. Dengan gaya ini memoir ini menjadi enak untuk disimak karena penonton bisa ikut hanyut dalam emosi yang dirasakan Meutya saat itu nulai dari takut, kesal, sungkan, bingung, frustasi, pasrah hingga marah. Di bagian akhir tulisannya Meutya seperti ingin mengingatkan para rekan jurnalis dengan berkaca pada kejadian yang dialamani untuk bisa menentukan batas kapan harus berhenti. Terkadang para jurnalis terlalu bersemangat mengejar berita yang eksklusif sehingga lupa batas dan lupa akan keselamatannya sendiri seperti contoh pada kasus tenggelamnya kapal Levina. Menurut Meutya kebanyakan jurnalis Indonesia termasuk dirinya sangat tidak memperdulikan kelengkapan penyelamatan diri seperti pada pengalamannya di Irak yang tanpa rompi anti peluru maupun helm atau dengan gagahnya sambil direkam gambarnya memegang pecahan bom yang masih mempunyai kemungkinan untuk meledak.

Pada bagian sisipan ada juga tulisan dari sang bos, Don Bosco Selamun yang menugaskan keduanya untuk kembali masuk ke Irak. Kisah Don Bosco pun tak kalah menegangkan dalam usahanya mencari jalan untuk membebaskan kedua anak buahnya tersebut. Terselip juga goncangan emosi sang bos yang kerena rasa bersalahnya sampai-sampai merasa dirinya sebagai bos yang bodoh.

Secara keseluruhan buku ini memang layak untuk disimak, di tangan seorang wanita tegar seperti Meutya peristiwa penculikan ini digambarkan tidak seseram seperti yang biasanya muncul dalam kisah-kisah sejenis bahkan terasa sekali banyak hikmah yang bisa dipetik pembaca. Bagi penggemar kisah –kisah suspense atau thriller jangan berharap kalau memoir ini akan seperti novel-novel ala Robert Crais atau Jack Higgins karena yang ditampilkan adalah fakta bukan fiksi jadi tidak akan setegang kisah adalam buku novel.

Tidak ada komentar: