Selasa, 06 November 2007

Lempar Petasan Sembunyi Tangan

Semalam sebelum tidur tiba-tiba aku teringat dengan sebuah dosa pada saat masa kecil dulu, sebuah kenakalan dari seorang anak manis yang tidak banyak tingkah. Entah kenapa aku tiba-tiba teringat dengan kejadian tersebut padahal itu sudah terjadi hampir dua dekade yang lalu. Dosa ini telah menjadi rahasiaku selama bertahun-tahun dan tak pernah aku ceritakan kepada siapapun hingga saat ini aku memutuskan untuk menuliskannya di blog.

Kejadian ini terjadi ketika aku duduk di kelas 5 SD. Jaman aku SD dulu murid duduk berpasang-pasangan dan pasangannya ditentukan oleh guru. Kebetulan aku mendapatkan teman sebangku murid terbadung di kelas, namanya Denny tapi biasa dipanggil DenDen. Mungkin pertimbangan guruku saat adalah murid badung cocok dsandingkan murid yang manis dan pendiam supaya tidak terjadi konspirasi kebadungan yang bisa bikin kerusuhan kecil di kelas. DenDen selain badung juga sangat usil, akulah sebagai teman sebangku yang paling sering menjadi korban kenakalannya. Ada saja keusilannya yang bikin aku gondok setengah mati seperti misalnya ketika baru masuk kelas dia tampak sibuk mengaduk-ngaduk isi tasnya sambil pura-pura mencari sesuatu, kegiatannya itu langsung menarik perhatianku. Begitu tau aku memperhatikan dia, DenDen mengeluarkan anak tikus dari tasnya dan melemparkannya kepadaku, alhasil aku kaget dan dan langsung melompat-lompat panik persis seperti sedang ajojing ala tahun 80an. Setelah itu DenDen pasti langsung menghiasi wajah tengilnya dengan seringai badung khasnya. Walaupun sudah gondok hingga keubun-ubun tapi aku tidak bisa membalas keisengan dan kebadungan DenDen tersebut, mengadu ke gurupun rasanya bukan solusi yang tepat karena DenDen termasuk tipe murid yang intimidatif dan ditakuti teman-teman sekelas.


Hingga pada suatu hari DenDen datang ke sekolah dengan membawa seikat petasan cabe rawit untuk dipamerkan kepada teman-teman sekelas, sebetulnya membawa mainan apalagi petasan dilarang oleh sekolah namun sepeti biasa tidak ada yang berani melaporkannya kepada guru. DenDen tentu saja tidak akan merasa betah hanya dengan pamer petasan saja tanpa melakukan keisengan. Ketika istirahat ia mulai melakukan aksinya nakalnya terhadap teman sebangkunya tercinta, kali ini dia pura-pura menyalakan petasan dan melemparkannya ke kolong bangkuku yang saat itu sedang asik membaca buku (murid teladan), aku langsung panik dan lari terbirit-birit. DenDen pun tertawa puas dan habis-habisan meledekku karena memang petasan yang dilemparkannya itu tidak ia nyalakan. Aku kembali masuk ke kelas untuk melanjutkan baca, saat itu murid lain sedang sibuk bermain-main di luar kelas termasuk DenDen yang sudah puas ngerjain aku. Kuambil petasan kecil bersumbu panjang tersebut dari kolong bangku, hatiku tergelitik ingin merasakan main petasan karena memang aku belum pernah main petasan sebelumnya karena memang dilarang oleh orang tuaku paling banter cuma main kembang api saja. Diam-diam kumasukan petasan tersebut kedalam tasku dengan niat akan aku coba nyalakan petasan tersebut untuk menjawab pertanyaan batinku tentang apa nikmatnya main petasan.


Sekembalinya dari istirahat, DenDen yang takut ketahuan guru telah membawa petasan sibuk mencari petasan yang habis dilemparkannya tadi di kolong bangku. Namun sampai guru datang dia masih belum menemukannya dan mulai agak panik. DenDen akhirnya menatap penuh tanya kepadaku, kubalas dengan sebuah senyuman penuh arti dan DenDen nampak mulai tenang karena berfikir aku telah menyingkirkan petasan tersebut. Sepulang sekolah aku mulai gelisah karena rasa penasaran ingin mencoba petasan DenDen tersebut tapi aku juga takut ketahuan orangtuaku.Akhirnya aku dapat ide brilian untuk coba memainkan petasan tersebut di perjalanan pulang sekolah, sekarang yang aku butuhkan korek api tapi itu bukan masalah karena papaku yang memang perokok sering menaruh korek api sembarangan.


Keesokan harinya aku pergi ke sekolah dengan berbekal petasan dan korek api yang keduanya aku sisipkan di kantong yang terletak di bagian dalam tasku. Hari itu seharusnya ada pelajaran olahraga tapi sang guru olahraga sedang berhalangan hadir dan tak ada guru olahraga penggantinya. Sebetulnya kita disuruh untuk berolahraga sendiri namun namanya anak-anak bukannya berolahraga tapi malah sibuk main-main sendiri. Ada yang main tali, ada yang sibuk kejar-kejaran, ada yang asik menggosip dan dan aneka macam kegiatan menghibur lainnya. Tiba-tiba aku tercetus niat gila untuk menyalakan petasan, setelah mengambil petasan tersebut dari tas, aku melakukan survey kecil-kecil mencari lokasi strategis untuk melaksanakan aksiku itu. Akhirnya kupilih di pekarangan yang ada dibelakang gedung kelas 6, pekarangan itu cukup sepi dan banyak ditanami pohon sehingga aku rasa cukup aman. Diiringin oleh irama dentuman detak jantungku yang deg-degan, tangan gemetarku akhirnya sukses menyalan api di sumbu petasan tersebut. Setelah menyalakan petasan pertamaku, bagaikan cheetah aku lari diam-diam namun kencang menjauh dari TKP, persis ketika petasan itu meledak aku tiba di toilet. Aku memutuskan untuk menenangkan diri di toilet yang memang sedang tak ada orang lain, saat itu aku merasakan sensasi lega yang luar biasa. Setelah tenang aku berjalan kembali kearah kelasku, saat itu wali kelasku sedang memanggil murid kelasku untuk masuk kedalam kelas.


Di dalam kelas itulah Ibu Wali Kelas menanyakan kami satu persatu secara sendiri-sendiri mengenai tempat dan kegiatan kami ketika petasan tersebut meledak. Sebuah sistem interograsi yang cukup efektif sebab kalau langsung menanyakan siapa yang melakukan peledakan tersebut tentu tidak ada yang mengaku. Anehnya bukannya takut karena bersalah, aku malah tenang dan menjadikan toilet sebagai alibiku. Alibiku diterima tanpa kecurigaan sedikitpun karena aku adalah si murid manis yang tidak akan melakukan kejahatan seperti itu. Malang bagi DenDen karena saat itu dia serta kedua konco bandelnya sedang jajan diluar pagar sekolah. Di sekolah kami hanya diperkenankan jajan di kantin, jajan diluar pagar apalagi pada jam sekolah merupakan sebuah pelanggaran. Karena takut ketahuan melanggar peraturan merekapun mengarang alibi masing-masing dan karangan mereka dengan mudahnya dapat diendus oleh Bu Wali Kelas yang saat ini sedang berakting sebagai detektif ulung. Rupanya ada beberapa murid juga yang ketika ditanya mengenai alibi, dengan suka rela memberikan informasi tambahan pada Bu Detektif Wali Kelas kalau sehari sebelumnya DenDen membawa petasan ke sekolah. Alibi yang lemah dan kesaksian beberapa teman yang mengatakan sehari sebelumnya DenDenlah yang membawa barang bukti tersebut ke sekolah menjadikan DenDen sebagai tersangka utama kasus peledakan petasan di sekolah. Mati-matian DenDen membela diri sampai akhirnya keluar pengakuan dari dirinya kalau saat itu dia sedang jajan diluar sekolah, dia melakukan ini karena kasus jajan di luar sekolah lebih ringan daripada kasus peledakan petasan, ibarat perbadingannya antara kasus penggelapan barang import dengan kasus peledakan bom yang tentu saja lebih berat hukumannya.


DenDen akhirnya dihukum berat oleh pihak sekolah sampai orangtuanyapun mendapat teguran keras dari pihak sekolah. DenDen sebetulnya curiga kepadaku namun ia tidak berdaya untuk memaparkan kepada Bu Detektif Wali Kelas karena siapa sih yang mempercayai anak bandel yang menuduh seorang anak manis melakukan tindakan kriminal. Setelah kejadian itu pada awalnya DenDen berubah menjadi anak baik-baik namun hanya bertahan beberapa minggu saja dan kembali menjadi nakal namun ada satu yang berubah. Sekarang dia tidak berani melakukan keisengan atau kenakalannya terhadap aku malah dia sekarang menaruh respek terhadapku karena akulah sebetulnya sang kriminal sejati.


Sekarang aku sadar kalau tindakanku itu sungguh pengecut, cocok sekali istilah lempar batu sembunyi tangan itu untukku. Ironisnya setahun kemudian ketika kelas 6 SD, aku menjadi perwakilan dari sekolahku untuk mengikuti lomba cerdas cermat P4. Seorang kriminal kecil yang pengecut menjadi jawara cerdas cermat P4 sampai akhirnya kandas pada tingkat penyisihan provinsi. Selain itu aku juga merasa bersalah terhadap DenDen kalau saja aku bertemu kembali dengannya sungguh aku ingin mengaku dosa padanya. Dan akupun berpikir tentang tipisnya batas antara pengecut dengan para kriminal sejati, para Kriminal itu sebetulnya hanyalah para pengecut sejati.

Tidak ada komentar: