Senin, 14 April 2008

The 7 Last Words of Christ

Seumur-umur aku belum pernah yang namanya nonton opera beneran secara langsung. Biasanya palingan banter cuma operet amatiran di acara Natalan. Sebelumnya tidak pernah terlintas dipikiran untuk menonton opera sampai temanku Riska mempromosikan pagelaran opera yang berjudul “The 7 Last Words of Jesus”. Jangan dipikir Riska adalah bagian promosi dari penyelenggara pagelaran opera ini tapi dia ini adalah salah satu artisnya. Ya...ya... Riska Damayanti memang bukan pemeran utama tapi ini adalah adalah pagelaran opera pertamanya sejak bergabung dengan Susvara Opera Company jadi ngga heran kalau promosinya ngga kalah sama marketing andal. Secara penasaran karena belum pernah menyaksikan opera yang sesungguhnya maka akupun tertarik untuk menonton “The 7 Last Words of Jesus”, siapa tahu bisa menambah khasanah bersenianku.


Pada hari H yaitu hari minggu datanglah aku ke Gedung Kesenian Jakarta tempat berlangsungnya acara. Ini juga merupakan kesempatan pertamaku mengunjungi gedung seni bersejarah peninggalan Belanda yang memilki arsitektur indah. Pada dasarnya aku bukan seorang penikmat musik klasik tapi aku tetap nekad untuk mencoba menonton opera. Dan terbukti banget kalau selera musikku memang payah. Aku sama sekali tidak menikmati pagelaran opera ini terutama pada sesi pertama yang menampilkan oratorium-oratorium (Oratorium? asli aku ngga ngerti artinya, ini juga hasil mencontek dari buku panduan tapi yang pasti ngga ada hubungannya sama sanatorium apalagi ovarium).


Sesi oratorium ini adalah bagian yang sangat menyiksaku karena aku harus berusaha keras untuk menahan tawa. Ngga lucu banget kalau ditengah kekhusuyukan penyanyinya melantunkan lagu-lagu syahdu tersebut tiba-tiba saja ada yang tertawa terbahak-bahak. Aku berusaha mengalihkan pikiran ke hal-hal sedih tapi gagal karena lamunanku selalu buyar oleh lengkingan suara sang penyanyi. Untuk membantu mengendalikan diri aku terpaksa harus menggigit tissue agar ketawaku tidak pecah. Tidak ada yang salah dengan penyanyinya tapi dasar kuping ini aja yang kampungan ngga bisa mencerna musik premier karya musisi kelas dunia. Padahal sebagian besar lagu berbahasa Inggris namun kupingku ini sama sekali tidak bisa menangkap liriknya dengan benar sehingga yang terdengar adalah kata-kata absurd yang ngaco abis.


Sayangnya aku tak terlalu ingat kata-kata absurd yang sempat terlintas di benakku tapi ada satu yang terpatri begitu kuat yaitu “miss genuk”. Aku setengah mati menahan tawa ketika mendengarnya sebab dibenakku langsung muncul sesosok wanita jawa bertubuh tambun dan hanya menggunakan kembem. Mungkin ilustrasinya seperti tokoh Nyi Woro Cimblon dalam karikatur Panji Koming di Kompas minggu. Aku nyaris menganggap diriku mulai mengalami gejala kurang waras namun aku jadi lega ketika melihat di buku pengantar sebetulnya lagu tersebut berjudul “Es Ist Genug”. Ini berarti aku ngga ngaco-ngaco amat, “miss genik” ngga terlalu jauh kok dari judul aslinya.


Sejujurnya aku nyaris melarikan diri dari tempat tersebut karena takut tak tahan menahan tawa dan bikin malu rombongan supporternya si Riska. Gara-gara aku duduk di tengah dan agak susah untuk keluar jadinya aku tetap bertahan di dalam. Ada satu bagian dari oratorium ini yang bisa aku nikmati dan sama sekali ngga bikin aku pingin tertawa yaitu pada saat dilantunkannya lagu “Domine Deus”. Walaupun dilantunkan daam bahasa latin tapi aku lebih bisa menangkap liriknya karena “Domine Deus” ini mirip lagu-lagu berbahasa latin yang biasa dinyanyikan saat misa. Mungkin karena lebih familier jadinya kuping ini bisa menangkapnya dengan baik.


Pada sesi kedua yang merupakan inti dari pagelaran opera “The 7 Last Words of Christ” keadaan makin membaik. Di sesi ini pula bagian si Riska tampil beramai-ramai sebagai rakyat jelata yang berteriak-teriak menuntut penyalibkan Yesus. Suasana yang lebih hidup membuat pertunjukan lebih menarik dan hasrat tertawaku makin berkurang walaupun tidak hilang total. Sungguh tidak sensitif padahal sebetulnya itu adalah kisah sedih bahkan beberapa penonton lain aku lihat sampai menyeka mata mereka yang dibanjiri airmata.


Walaupun aku mengalami kesulitan untuk menikmati pertunjukan opera pertamaku tapi aku mau memberikan apresiasi sebesar-besarnya pertunjukan “The 7 Last Words of Christ” ini sebab harus diakui atmosfernya benar-benar sangat berkelas. Kemasan penampilan penyanyi maupun tata panggung sangatlah apik. Setidaknya aku sudah punya gambaran seperti apakah pertunjukan opera yang sesungguhnya. Kalau besok ada undangan menonton opera lagi, aku pasti akan pikir-pikir dulu atau mungkin sebaiknya mempersiapkan diri dulu sebaik-baiknya. Maaf ya Cha kalau aku ngga bisa bikin ulasan yang baik soal pertunjukan opera pertamamu dengan baik.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Dasar gemblung!! Dari pertama kali lu mow beli tiket juga gue dah curiga...mana bisa fans nya Avril Lavigne dan Pink tahan ngantuk nonton opera. Ternyata kata kakak gue lu emang ga tidur..tapi ketawa, booowww!! Selamat sukses buat lu udah berhasil nonton yang kayak gini, kapan-kapan gue mo ajak lu lagi ah, yang lebih nge-pop, okeh?!

Anonim mengatakan...

It demonstrates push ups, jumping exercises and various combinations of pressing
and curling movements for shoulders and arms; strength
and to find people who'll help you reach your goals. The particular P90 X Workout Schedule delivers how to order p90x lean a group are not interested in the entire program but simply a routine to help them burn excess fat. Power 90 Extreme or P90 X is a it simple to find people who'll help you reach your goals.


Feel free to surf to my homepage; hop over to this web-site