Minggu, 27 April 2008

Negara Agraris

Krisis pangan dunia yang lagi heboh-hebohnya menghiasi headline berita di seantero jagat sebetulnya sudah mulai berimbas juga di Indonesia. Buktinya saat ini tidak jarang kita lihat antrian panjang warga miskin yang hendak membeli beras, minyak, dan aneka sembako murah lainnya yang telah di subsidi pemerintah. Beberapa waktu lalu temped an tahu sempat lenyap dari pasaran akibat kenaikan harga kedelai yang seperti roket. Beras yang disebut-sebut sebagai makanan pokok orang Indonesia, di pasaran dunia juga ikutan tertular minyak yang kena demam kenaikan harga. Beruntunglah Indonesia tidak seperti Negara-negara Afrika yang terkena pukulan telak sebab di Indonesia masih banyak sawah sehingga harga beras di pasar masih berada di bawah harga beras dunia.

Penyebab kenaikan harga bahan pangan dunia katanya akibat gagal panen. Gagal panen disebabkan oleh faktor bencana alam karena perubahan iklim. Iklim berubah karena bumi ini sedang mengalami pemanasan global. Penyebab pemanasan global adalah penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan gas CO2 dan ditambah rusaknya hutan sebagai konventor CO2 ke O2. Minyak bumi sumber energi bumi sekaligus juga sumber penghasil gas karbon mulai berkurang cadangannya sehingga berlomba-lombalah dibuat sumber energi alternative. Maka diciptakanlah biofuel yang asalnya dari tanaman pangan, akibatnya permintaan bahan pangan jadi makin tinggi. Biasanya kalau permintaan naik maka harganyapun otomatis akan naik pula. Walaupun sudah banyak diciptalan biofuel tapi anehnya harga minyak bukannya turun, malah makin naik saja. Industri pertanian juga secara tidak langsung memerlukan minyak, paling tidak untuk urusan distribusi pupuk maupun hasil panenan. Jadi bisa disimpulkan kalau kenaikan harga pangan adalah akibat ulah minyak. Hih betapa mengerikannya kuasa minyak atas kehidupan umat manusia di bumi ini. Benar kata pepatah yang mengatakan barang siapa menguasai minyak maka ia akan menguasai dunia.


Kenaikan harga minyak secara otomatis akan menambah kaya negara-negara penghasil minyak. Seyogianya kenaikan harga pangan juga akan menambah kaya negara-negara agraris. Aku jadi ingat pelajaran IPS waktu SD dulu, menurut buku pelajaranku, Indonesia termasuk negara agraris. Entah benar atau hanya sekedar propaganda pemerintah orde baru yang saat itu sedang giat-giatnya memamerkan proyek swasembada pangan. Namun secara mikro aku lihat dari daerah tempat tinggalku di Cicurug, apa yang dikatakan buku pelajaran IPS itu benar. Cicurug adalah sebuah desa yang terletak diantara Bogor dan Sukabumi memang adalah sebuah daerah yang ideal untuk pertanian. Baiklah aku akan sedikit bernostalgia dengan masa kecilku.
Di masa SDku di era tahun 80an, di Cicurug banyak sekali areal persawahan bahkan ada daerah yang dinamakan "Pesawahan" karena disana memang sejauh mata memandang yang bisa dilihat adalah sawah-sawah saja. Selain sawah yang banyak, disana juga bisa ditemukan perkebunan karet yang cukup lebat. Pekerjaan utama masyarakat sekitar juga umumnya tidak jauh dari "bisnis" pertanian. Bahkan di dekat rumahku terdapat sebuah KUD yang tak pernah kosong dari aneka hasil pertanian dan perkebunan.
Keadaan mulai berubah pada awal tahun 90an dimana investor asing mulai menyerbu Indonesia, perkebunan karet tersebut segera hilang. Di tempat bekas perkebunan karet tersebut berdirilah pabrik garmen yang cukup besar investasi pengusaha korea. Usaha garmen tersebut rupanya cukup sukses sehingga langsung seperti jamur du musim hujan. Daerah Cicurug memang kaya akan sumber air sehingga hal ini membuat ngiler industri minuman. Untuk mendirikan aneka industri raksasa tersebut mengakibatkan areal pertanian dan persawahan kian terdesak. Perlahan-lahan areal persawahan an perkebunan berubah fungsi menjadi areal industri dan akhirnya hilang sama sekali. Bahkan saat ini daerah yang namanya "Pesawahan" tersebut sama sekali tidak ada sawahnya, yang ada saat ini adalah komplek aneka industri modern yang berbahan dasar susu. Profesi warga yang tadinya petani kini berubah menjadi buruh.
Pada awalnya industrialisasi daerah Cicurug ini cukup membawa angin positif sebab dapat menaikan taraf penghidupan masyarakat sekitar. Namun lama-lama seiring dengan kenaikan harga sembako yang tidak diimbangi dengan naiknya upah buruh menyebabkan penghidupan masyarakat jadi turun. Dahulu harga bahan pangan sangatlah murah karena dihasilkan langsung dari pertanian lokal namun kini bahan pangan harus didatangkan dari daerah luar yang nota bene memerlukan tambahan biaya untuk ongkos pengangkutan yang makin lama makin tak murah.
Saya rasa apa yang terjadi di Cicurug juga terjadi secara makro hampir di seluruh wilayah Indonesia. Buktinya masa sih negara yang tanahnya luas dan subur harus mengimpor beras, kedelai, dan aneka bahan pangan lainnya. Penanaman modal asing untukindustri memang menguntungkan dan nampak dapat mengatasi masalah pengangguran namun kalau semuanya pingin jadi buruh siapa yang akan jadi petaninya? Rasa-rasanya kita harus kembali kepada kultur awal kita sebagai negara agraris sebab dengan memiliki sektor pertanian yang kuat, paling tidak persoalan perut bisa diatasi. Tokh kalau perut kenyang umumnya orang akan lebih jinak dan tidak sebrutal orang yang lapar.

Tidak ada komentar: